Ide Gagasan
Perbandingan Bangsa Ocu dan Minang
Bangsa ocu : Pernah dengar kata Ocu? Mungkin bagi anda yang berasal dari Provinsi Riau kata ini sudah akrab ditelinga anda. Atau bagi anda yang berasal dari provinsi-provinsi di pulau Sumatera, khususnya di Sumatera bagian Tengah, seperti Sumatera Barat, dan tetangga Riau.Ocu adalah salah satu suku yang tidak terlalu besar di Riau salah satu suku dari Melayu. Orang-orang dari suku ini berasal dari Kabupaten Kampar Provinsi Riau. Memang hingga saat ini banyak kontroversi tentang asal-usul dari suku ini. Seperti, ada yang mengatakan orang-orang Ocu berasal dari Sumatera Barat, karena memang Kabupaten Kampar sendiri berbatasan langsung dengan Provinsi Sumatera Barat.
Pendapat pertama ini memang punya alasan sendiri karena budaya, adat istiadat, bahasa, struktur pemerintahan, hingga gaya bangunan agak memiliki kemiripan dengan budaya Sumatera Barat. Selain itu dalam sejarah daerah ini juga merupakan wilayah kerajaan Pagaruyung.
Akan tetapi, hingga saat ini, belum ada satu orang anak keturunan Ocu yang mau disebut sebagai orang Minang. Entah apa sebabnya, kemungkinan juga karena beberapa sifat antara Orang Ocu dengan Minang agak berbeda ditambah lagi dipengaruhi oleh faktor masa lalu dan sejarah.
Selain ada yang mengatakan dari Sumatera Barat, juga ada yang menyebutkan orang Ocu asli orang Melayu Daratan. Hal ini disebabkan di daerah Riau sendiri sifat dan karakteristik yang dimiliki oleh wilayah Kampar juga persis seperti adat dan kebudayaan di beberapa Kabupaten di Riau seperti Kabupaten Kuantan Singingi.
Ada juga yang mengatakan Kampar atau negeri Ocu merupakan wilayah atau kerajaan yang berdiri sendiri, karena memiliki kerajaan tersendiri. Apapun pendapat tersebut mesti dipastikan kebenarannya.
Kembali kepada Ocu. Selain sebuah suku, kata Ocu juga bisa disebut sebagai sebuah bahasa, yaitu bahasa Ocu – percampuran bahasa Melayu dengan bahasa Minang, dan mirip seperti bahasa Kuantan. Memang dalam kosa kata bahasa Ocu banyak yang sangat mirip dengan bahasa Melayu.
Selain bahasa, Ocu juga bisa digunakan untuk sebutan sebuah wilayah, dan sebutan bagi saudara atau anak yang ke empat hingga selanjutnya. Dalam adat Kampar, anak pertama oleh saudara-saudaranya dipanggil dengan sebutan Uwo (berasal dari kata Tuo, Tua, yang paling tua).
Anak kedua dipanggil oleh adik-adiknya dengan kata Ongah, yang berasal dari kata Tengah, artinya anak yang paling tengah, atau anak ke dua. Sedangkan anak yang ke tiga dipanggil oleh adik-adiknya dengan nama Udo, atau anak yang paling Mudo atau yang paling Muda.
Untuk anak yang ke empat baik laki-laki maupun perempuan, juga dipanggil dengan Ocu, yang kemungkinan besar juga berasal dari kata Ongsu, yang dalam bahasa Indonesianya berarti Bungsu atau anak yang bungsu (terakhir). Anak ke lima dan seterusnya juga berhak untuk disapa dengan Ocu.
Tidak hanya dalam struktur kekeluargaan saja kata Ocu ini digunakan, tapi juga digunakan bagi anak-anak yang lebih muda kepada teman, kerabat dan sanak keluarga. Seperti anak muda kepada yang sedikit lebih tua dari pada dirinya.Kata ini juga dipakai sebagai panggilan kehormatan dan kebanggaan (bukan panggilan kebesaran seperti gelar adat) bagi orang Kampar.
Jadi Ocu adalah sebuah wilayah, suku, bahasa, adat, sebutan atau nama panggilan, dan panggilan kebanggaan bagi orang-orang di Kampar
Bangsa Minang : Minangkabau atau lebih singkatnya Minang adalah kelompok etnik Nusantara yang berbahasa dan menjunjung adat Minangkabau. Wilayah penganut kebudayaannya meliputi Sumatera Barat, separuh daratan Riau, bagian utara Bengkulu, bagian barat Jambi, bagian selatan Sumatera Utara, barat daya Aceh, dan juga Negeri Sembilan di Malaysia. Dalam percakapan awam, orang Minang seringkali disamakan sebagai orang Padang, merujuk kepada nama ibukota provinsi Sumatera Barat yaitu kota Padang. Namun, masyarakat ini biasanya akan menyebut kelompoknya dengan sebutan urang awak (bermaksud sama dengan orang Minang itu sendiri).
Menurut A.A. Navis, Minangkabau lebih kepada kultur etnis dari suatu rumpun Melayu yang tumbuh dan besar karena sistem monarki, serta menganut sistem adat yang khas, yang dicirikan dengan sistem kekeluargaan melalui jalur perempuan atau matrilineal, walaupun budayanya juga sangat kuat diwarnai ajaran agama Islam, sedangkan Thomas Stamford Raffles, setelah melakukan ekspedisi ke pedalaman Minangkabau tempat kedudukan Kerajaan Pagaruyung, menyatakan bahwa Minangkabau adalah sumber kekuatan dan asal bangsa Melayu, yang kemudian penduduknya tersebar luas di Kepulauan Timur.
Saat ini masyarakat Minang merupakan masyarakat penganut matrilineal terbesar di dunia. Selain itu, etnik ini juga telah menerapkan sistem proto-demokrasi sejak masa pra-Hindu dengan adanya kerapatan adat untuk menentukan hal-hal penting dan permasalahan hukum. Prinsip adat Minangkabau tertuang singkat dalam pernyataan Adat basandi syara', syara' basandi Kitabullah (Adat bersendikan hukum, hukum bersendikan Al-Qur'an) yang berarti adat berlandaskan ajaran Islam.
Orang Minangkabau sangat menonjol di bidang perniagaan, sebagai profesional dan intelektual. Mereka merupakan pewaris terhormat dari tradisi tua Kerajaan Melayu dan Sriwijaya yang gemar berdagang dan dinamis. Hampir separuh jumlah keseluruhan anggota masyarakat ini berada dalam perantauan. Minang perantauan pada umumnya bermukim di kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Pekanbaru, Medan, Batam, Palembang, dan Surabaya. Di luar wilayah Indonesia, etnis Minang banyak terdapat di Negeri Sembilan, Malaysia dan Singapura.
Masyarakat Minang memiliki masakan khas yang populer dengan sebutan masakan Padang, dan sangat digemari di Indonesia bahkan sampai mancanegara.
Nama Minangkabau berasal dari dua kata, minang dan kabau. Nama itu dikaitkan dengan suatu legenda khas Minang yang dikenal di dalam tambo. Dari tambo tersebut, konon pada suatu masa ada satu kerajaan asing (biasa ditafsirkan sebagai Majapahit) yang datang dari laut akan melakukan penaklukan. Untuk mencegah pertempuran, masyarakat setempat mengusulkan untuk mengadu kerbau. Pasukan asing tersebut menyetujui dan menyediakan seekor kerbau yang besar dan agresif, sedangkan masyarakat setempat menyediakan seekor anak kerbau yang lapar dengan diberikan pisau pada tanduknya. Dalam pertempuran, anak kerbau yang lapar itu menyangka kerbau besar tersebut adalah induknya. Maka anak kerbau itu langsung berlari mencari susu dan menanduk hingga mencabik-cabik perut kerbau besar tersebut. Kemenangan itu menginspirasikan masyarakat setempat memakai nama Minangkabau, yang berasal dari ucapan 'Manang kabau' (artinya menang kerbau). Nama Minangkabau juga digunakan untuk menyebut sebuah nagari, yaitu Nagari Minangkabau, yang terletak di kecamatan Sungayang, kabupaten Tanah Datar, provinsi Sumatera Barat.
Dalam catatan sejarah kerajaan Majapahit, Nagarakretagam. tahun 1365 M, juga telah ada menyebutkan nama Minangkabwa sebagai salah satu dari negeri Melayu yang ditaklukannya.Sedangkan nama "Minang" (kerajaan Minanga) itu sendiri juga telah disebutkan dalam Prasasti Kedukan Bukit tahun 682 Masehi dan berbahasa Sansekerta. Dalam prasasti itu dinyatakan bahwa pendiri kerajaan Sriwijaya yang bernama Dapunta Hyang bertolak dari "Minānga" ... Beberapa ahli yang merujuk dari sumber prasasti itu menduga, kata baris ke-4 (...minānga) dan ke-5 (tāmvan....) sebenarnya tergabung, sehingga menjadi mināngatāmvan dan diterjemahkan dengan makna sungai kembar. Sungai kembar yang dimaksud diduga menunjuk kepada pertemuan (temu) dua sumber aliran Sungai Kampar, yaitu Sungai Kampar Kiri dan Sungai Kampar Kanan. Namun pendapat ini dibantah oleh Casparis, yang membuktikan bahwa "tāmvan" tidak ada hubungannya dengan "temu", karena kata temu dan muara juga dijumpai pada prasasti-prasasti peninggalan zaman Sriwijaya yang lainnya. Oleh karena itu kata Minanga berdiri sendiri dan identik dengan penyebutan Minang itu sendiri.
Asal-usul dari suku minang ini adalah Dari tambo yang diterima secara turun temurun, menceritakan bahwa nenek moyang mereka berasal dari keturunan Iskandar Zulkarnain. Walau tambo tersebut tidak tersusun secara sistematis dan lebih kepada legenda berbanding fakta serta cendrung kepada sebuah karya sastra yang sudah menjadi milik masyarakat banyak.
Masyarakat Minang merupakan bagian dari masyarakat Deutro Melayu (Melayu Muda) yang melakukan migrasi dari daratan China Selatan ke pulau Sumatera sekitar 2.500-2.000 tahun yang lalu. Diperkirakan kelompok masyarakat ini masuk dari arah timur pulau Sumatera, menyusuri aliran sungai Kampar sampai ke dataran tinggi yang disebut darek dan menjadi kampung halaman orang Minangkabau. Beberapa kawasan darek ini kemudian membentuk semacam konfederasi yang dikenal dengan nama luhak, yang selanjutnya disebut juga dengan nama Luhak nan Tigo, yang terdiri dari Luhak Limo Puluah, Luhak Agam, dan Luhak Tanah Datar. Pada masa pemerintahan Hindia-Belanda, daerah luhak ini menjadi daerah teritorial pemerintahan yang disebut afdeling, dikepalai oleh seorang residen dan oleh masyarakat Minangkabau disebut dengan nama Tuan Luhak.
Sementara seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan penduduk, masyarakat Minangkabau menyebar ke kawasan darek yang lain serta membentuk beberapa kawasan tertentu menjadi kawasan rantau. Konsep rantau bagi masyarakat Minang merupakan suatu kawasan yang menjadi pintu masuk ke alam Minangkabau. Rantau juga berfungsi sebagai tempat mencari kehidupan, kawasan perdagangan. Rantau di Minangkabau dikenal dengan Rantau nan duo terbagi atas Rantau di Hilia (kawasan pesisir timur) dan Rantau di Mudiak (kawasan pesisir barat).
Pada awalnya penyebutan orang Minang belum dibedakan dengan orang Melayu, namun sejak abad ke-19, penyebutan Minang dan Melayu mulai dibedakan melihat budaya matrilineal yang tetap bertahan berbanding patrilineal yang dianut oleh masyarakat Melayu umumnya. Kemudian pengelompokan ini terus berlangsung demi kepentingan sensus penduduk maupun politik.
2.AKTIFITAS
a.Prosesi Pernikahan
Bangsa Ocu: Berikut beberapa ritual dalam acara adat (budaya) resepsi pernikahan di Kabupaten Kampar (Ocu).
- Para ibu-ibu dan tetangga dekat sedang memasak untuk acara Resepsi Pernikahan, biasanya diadakan di rumah mempelai perempuan.
- Para ibu-ibu dan tetangga dekat sedang memasak untuk acara Resepsi Pernikahan, biasanya diadakan di rumah mempelai perempuan.
Di Kabupaten Kampar dari zaman ninik mamak terdahulu, apa bila ada saudara sekampung yang hendak menikah, maka keluarga dari mempelai yang hendak menikah harus memanggil para tetangga kampung untuk membantu kegiatan memasak yang dilakukan 3 hari ataupun sehari sebelum acara resepsi pernikahan berlangsung (hitungan ini tergantung dari keluarga mempelai), karena masyarakat kampar sejak dulu dikenal dengan cara bergotong royong ini pula, maka di kampar jarang sekali yang melakukan "catering" untuk acara pernikahan.
- Acara Shalawatan (Badiqiu)
- Acara Shalawatan (Badiqiu)
Badiqiu merupakan suatu acara Budaya sakral yang dilakukan oleh para tokoh-tokoh dan sesepuh adat pada malam hari sebelum acara resepsi pernikahan dilakukan, agar acara pernikahan ini berlangsung dengan hikmat dan keluarga yang baru menjadi keluarga yang utuh hingga akhir hayat.
- Acara Pengantaran Pihak Lelaki ke rumah Pihak Perempuan (Ba'aghak)
Dengan dentuman Rebana dari para tokoh adat ini, menambah kehikmatan nilai budaya yang sakral pada acara pengantaran Pihak Lelaki ke rumah Pihak Perempuan, biasanya shalawatan selalu di kumandang kan hingga akhirnya Pihak Lelaki sampai kerumah Pihak Perempuan.
- Acara Pengantaran Pihak Lelaki ke rumah Pihak Perempuan (Ba'aghak)
Dengan dentuman Rebana dari para tokoh adat ini, menambah kehikmatan nilai budaya yang sakral pada acara pengantaran Pihak Lelaki ke rumah Pihak Perempuan, biasanya shalawatan selalu di kumandang kan hingga akhirnya Pihak Lelaki sampai kerumah Pihak Perempuan.
Akhirnya Mempelai Lelaki sampai juga ke rumah Mempelai Perempuan, dan mereka langsung dipertemukan kemudian di persandingkan.
- Acara Pengantaran Pihak Lelaki dengan membawa Hantaran (Jambau)
- Acara Pengantaran Pihak Lelaki dengan membawa Hantaran (Jambau)
Seperti adat di daerah lainnya, hantaran juga berlaku di kabupaten kampar, tetapi tidak terlalu mengikat, "jika mempelai lelaki tidak mampu untuk memberikanhantaran, maka ini tidak di wajibkan untuk membawa hantaran (Jambau), ini bisa kita temui di beberapa daerah saja di kabupaten kampar.
Dalam prosesi perkawinan adat Minangkabau, biasa disebut baralek, mempunyai beberapa tahapan yang umum dilakukan. Dimulai dengan maminang (meminang), manjapuik marapulai (menjemput pengantin pria), sampai basandiang (bersanding di pelaminan). Setelah maminang dan muncul kesepakatan manantuan hari (menentukan hari pernikahan), maka kemudian dilanjutkan dengan pernikahan secara Islam yang biasa dilakukan di Mesjid, sebelum kedua pengantin bersanding di pelaminan. Pada nagari tertentu setelah ijab kabul di depan penghulu atau tuan kadi, mempelai pria akan diberikan gelar baru sebagai panggilan penganti nama kecilnya. Kemudian masyarakat sekitar akan memanggilnya dengan gelar baru tersebut. Gelar panggilan tersebut biasanya bermulai dari sutan, bagindo atau sidi di kawasan pesisir pantai. Sedangkan di kawasan luhak limo puluah, pemberian gelar ini tidak berlaku.
2.Acara Penyambutan Bulan Ramadhan
Bangsa Ocu : Setiap daerah memang mempunyai cara tersendiri dalam menyambut kedatangan bulan Ramdhan, termasuk masyarakat di kabupaten Kampar. Balaimau Kasai atau yang dikenal dengan potang Balimau merupakan kegiatan tradisi masyarakat kabupaten Kampar dalam menyambut bulan Ramadhan, kegiatan ini dilaksanakan satu hari sebelum hari Ramdhan tiba. Biasanya masyarakat Kampar mengisinya dengan memasak makanan yang lezat seperti Lemang, Lepat, Kue, Rendang, Sup daging, dan makanan lain yang nantinya juga untuk menyambut sahur pertama dalam bulan ramadhan.
Dan kegiatan yang terpenting adalah menyiapkan ramuan untuk balimau ini yang terdiri dari rebusan limau purut atau limau nipis, dan untuk temannya adalah kasai (lulur) yang terdiri dari bahan bahan alami seperti beras, kunyit, daun pandan dan bunga bungaan yang membuat wangi tubuh.
Limau Kasai ini tidak hanya digunakan sebagai bahan untuk mandi dan membersihkan diri saja, namun juga menjadi hantaran utama yang akan diantarkan ke rumah keluarga, orang tua dan sanak family lainnya. Limau kasai yang nantinya juga ditemani dengan kue-kue dengan makanan lainnya akan menjadi pembuka acara silaturahmi untuk saling memaafkan sebelum ramadhan tiba.
Balimau Kasai pada dasarnya adalah hari dimana masyarakat melakukan kegiatan penyucian, penyucian dalam segala bentuk, penyucian batin dengan cara mengunjugi sanak keluarga, meminta maaf dan saling mengikat kembali silaturahmi satu sama lainnya. Sedangkan penyucian fisik dilakukan dengan mandi dengan menggunakan limau tersebut.
Sayangnya, dalam perjalanan waktu, makna Balimau Kasai berangsur angsur mengalami pergeseran, Balimau Kasai lebih identik dengan mandi mandi menjelang Ramadhan tiba, masyarakat beramai- ramai menghadiri acara mandi bersama di tepian sungai Kampar, Danau danau dan tempat pemandian lainnya. Mandi ini tidak lagi mempunyai batasan antara laki laki dan perempuan sehingga bercampur pada satu tempat. Acara mandi bersama ini juga dimeriahkan dengan musik organ tunggal dengan musik dangdut yang dinyanyikan oleh artis dengan goyangan Hot dan tidak menutup aurat.
Makna silaturahmi dan saling meningkatkan Ukhuwah tidak lagi menjadi makna utama, sudah jarang anggota keluarga saling mengunjungi untuk meminta maaf, yang ada hanyalah anak anak kecil yang datang ke rumah sanak family yang datang dengan membawa rantang dan pulangnya mendapat uang berkah, sehingga kepentingan untuk mendapatkan uanglah yang menjadi prioritas utama.
Hari Balimau Kasai malah dimaknai anak anak muda Kampar dengan hari bersenang senang sebelum masa pengekangan tiba, karena pada bulan Ramadhan semuanya dibatasi, pergaulan, makan makan dan hura hura, maka hari Balimau Kasai menjadi ajang balas dendam sebelum peribadatan, maka pada itu mereka bersenang senang dengan wara wiri di jalan raya, berboncengan berduan muda mudi, dan nantinya diakhiri dengan mandi bareng pujaan hati.
Akibat lain adalah arus lalu lintas menjadi macet dan macet, dan sudah dapat diduga kecelakaan lalu lintas menjadi tinggi, puluhan nyawa melayang sebelum sempat melaksanakan indahnya ramadhan, puluhan lainnya terbaring di rumah sakit ditemani air mata penyesalan, Bukan hanya jalan raya yang meminta korban, sungai, danau dan pemandian juga merengut nyawa, karena arus yang deras dan danau yang dalam kadang tidak disiapi dengan kemampuan berenang yang baik. Lagi lagi nyawa melayang dan lagi lagi orang tua berduka.
Bagaikan gayung bersambut, pemerintah menjadikan kegiatan ini sebagai kalender wisata, karena dengan banyaknya masyarakat yang berkumpul dalam satu tempat juga menarik banyak pngunjung dari daerah sekitar, dan untuk menambah daya tarik panitia Balimau kasai menambah berbagai item kegiatan seperti Lomba sampan hias, panjat pinang, aneka permainan rakyat. Perubahan semakin menjauh membawa makna semakin hilang.
Perubahan tradisi ini menimbukan keprihatinan dari banya pihak, protes juga penentangan dari berbagai kalangannpun muncul, MUI, akademisi bahkan meminta agar acara tersebut ditiadakan, tentu saja ini mendapat protes pula dari kaum adat dan pemerintah karena Balimau Kasai adalah tradisi yang turun temurun ratusan tahun dan sebenarnya mempunyai makna yang bagus hanya saja…terlalu jauh menyimpang.
Untunglah, dalam beberapa tahun ke belakangan ini pemerintah dan beberapa komponen masyarakat mulai menyadari bahwa kegiatan ini harus dikembalikan ke makna yang sebenarnya, dalam event Balimau Kasai untuk kabupaten mulai dibatasi dalam acara mandi bersama, tidak lagi boleh bercampur antara laki laki dan perempuan, bahkan perempuan yang sudah remaja dan dewasa dilarang mandi ke sungai sehingga tidak akan menimbulkan fitnah.
Hanya saja sebagaimana hokum alam mengatakan sangat mudah menghancurkan amatlah susah memperbaiki, niat baik pemerintah dan masyarakat tidaklah seperti membalik telapak tangan, wilayah kabupaten Kampar sangatlah luas dan hampir semua desa melaksanakan Balimau Kasai ini, tentunya perlu waktu bertahun tahun dan kerja keras untuk mengembalikan tradisi budaya ini kembali ke makna asalnya. Namun tiada kata berhenti untuk kebaikan, semoga tradisi itu kembali membawa makna kesucian.
Bangsa Minang :Setiap penyambutan bulan ramadhan, sebagian masyarakat di Sumatera Barat tengah menanti tradisi yang sejak dulu berkembang. Balimau. Sekitar pukul 17.00 WIB pada H-1, mereka akan beramai-ramai datang ke tempat pemandian, tapian mandi, seperti sungai, danau, atau pantai.
Bersama-sama keluarga, bahkan juga teman-teman, anak-anak muda jolong gadang pergi beramai-ramai. Mereka akan mandi-mandi sambil tertawa berbahagia berkumpul bersama.
Dahulunya, tradisi balimau ini dianggap baik. Masyarakat Minangkabau yang dulu menjalani keseharian sebagai masyarakat pertanian, amat jarang bertemu dengan orang kampung dan kerabat. Mereka sibuk bertani ke ladang atau ke sawah. Setiap hari, tiada henti aktivitas tersebut dijalani.
Begitu juga dengan para pedagang. Hampir setiap hari masyarakat memenuhi hidupnya dengan menjual hasil pertanian. Caranya, mereka akan mencari hari pakan, hari-hari tertentu yang dijadikan masyarakat untuk berjual beli. Di pasar Batusangkar, misalnya, masyarakatnya menjadikan hari kamis sebagai hari pakan, dan pada hari inilah mereka berkumpul untuk saling menjual hasil pertanian, lalu membeli aneka kebutuhan sehari-hari untuk seminggu ke depan.
Kesibukan ini membuat masyarakat Minang pada masa dahulu tidak mempunyai waktu untuk bertemu secara rutin. Akibatnya, ketika bulan ramadhan datang, mereka pun menyepakati, baik langsung maupun tidak langsung, untuk berangkat ke tepian dan menjalani tradisi balimau.
Hanya saja, nenek moyang masyarakat Minang bermula dari sekelompok masyarakat yang pernah menganut kepercayaan animisme dan pernah memegang kepercayaan Hindu Budha. Akibatnya, ada sebagian tradisi yang masih dijalani, meskipun saat ini mereka telah menjadi seorang muslim.
Dalam balimau misalnya, masyarakat Minang menjalaninya dengan bermandi di tepian mandi, lalu menyirami tubuh dengan air khusus yang dicampurkan dengan bunga-bunga atau rempah-rempah yang dibuat dengan cakua, kambelu, dan lainnya.
Bagi masyarakat dahulu, air campuran khusus tersebut digunakan untuk membersihkan diri secara lahiriah. Berharap agar segala penyakit jauh dari tubuh mereka, sehingga ketika menjalani ibadah puasa, mereka dapat menjalani dengan khusyuk.
Sebenarnya itu hanya kebiasaan yang diciptakan dan ditradisikan oleh sebagian masyarakat Minang. Secara hakikat, balimau dilakukan untuk menyucikan diri dari segala perbuatan buruk, membersihkan diri dari penyakit hati, seperti sakit hati, iri, dengki, riba, tamak, dan lainnya--yang pada hakikatnya bertujuan untuk menjaga hati agar lebih siap menghadapi bulan suci ramadhan.
Kini, Balimau dengan air khusus ini tentunya menjadi perbuatan yang dilarang oleh majelis agama di Sumatera Barat.
Di balik tradisi ini, sesungguhnya ada sesuatu yang tengah dikembangkan oleh masyarakat Minang. Tradisi berkumpul. Ketika mereka sibuk dengan berbagai kegiatan di sawah, ladang, dan pasar raya, masyarakat pun membutuhkan waktu untuk bertemu dengan kerabat dan orang kampung.
Oleh karena pada masa itu belum ada handphone dan telpon, mereka pun yang dulunya memiliki jarak antar rumah yang sangat jauh, menyepakati untuk balimau ke tapian mandi. Dengan kesepakatan ini, akhirnya membuat mereka bisa bertemu di satu tempat. Pada kesempatan itulah, mereka mengamalkan ajaran agama Islam untuk meminta maaf dan saling memaafkan.
Sederhana, bukan? Bukan sebuah tradisi yang menjadi euforia seperti saat ini!
Lalu, apakah balimau ini masih dijalankan oleh masyarakat Minang?
Nyatanya memang masih ada. Jika sudah memasuki bulan ramadhan, hampir seluruh media cetak, media online, radio, bahkan juga televisi swasta di Indonesia menyiarkan tradisi balimau masyarakat Sumatera Barat. Seakan-akan, tradisi ini harus rutin diliput setiap tahun. Mereka menampilkan gambar dan video masyarakat Sumatera Barat yang mandi di sungai, beramai-ramai.
Namun, di balik itu, sesungguhnya balimau itu tidak penting. Bahkan, tidak boleh dilakukan. Sebab, masyarakat sudah beranggapan beda. Anak-anak muda jolong gadang, lebih banyak memanfaatkan kesempatan ini untuk melakukan kebiasaan yang buruk. Berdua-duaan misalnya. Sementara, bagi keluarga yang mengikuti tradisi ini, tidak sadar telah membiasakan keluarga mereka mandi di tempat terbuka.
Artinya, mereka bisa saling melihat aurat masing-masing. Padahal, dalam agama Islam, aurat amat dijaga dan harus ditutup. Oleh karena itulah, banyak alim ulama yang melarang tradisi balimau.
Lalu, mengenai tradisi saling memaafkan yang sudah dijalani oleh nenek moyang kita, tentunya bisa digantikan dengan mengirim sms, menelpon, atau bertamu langsung ke rumah tetangga dan kerabat.
Bersama-sama keluarga, bahkan juga teman-teman, anak-anak muda jolong gadang pergi beramai-ramai. Mereka akan mandi-mandi sambil tertawa berbahagia berkumpul bersama.
Dahulunya, tradisi balimau ini dianggap baik. Masyarakat Minangkabau yang dulu menjalani keseharian sebagai masyarakat pertanian, amat jarang bertemu dengan orang kampung dan kerabat. Mereka sibuk bertani ke ladang atau ke sawah. Setiap hari, tiada henti aktivitas tersebut dijalani.
Begitu juga dengan para pedagang. Hampir setiap hari masyarakat memenuhi hidupnya dengan menjual hasil pertanian. Caranya, mereka akan mencari hari pakan, hari-hari tertentu yang dijadikan masyarakat untuk berjual beli. Di pasar Batusangkar, misalnya, masyarakatnya menjadikan hari kamis sebagai hari pakan, dan pada hari inilah mereka berkumpul untuk saling menjual hasil pertanian, lalu membeli aneka kebutuhan sehari-hari untuk seminggu ke depan.
Kesibukan ini membuat masyarakat Minang pada masa dahulu tidak mempunyai waktu untuk bertemu secara rutin. Akibatnya, ketika bulan ramadhan datang, mereka pun menyepakati, baik langsung maupun tidak langsung, untuk berangkat ke tepian dan menjalani tradisi balimau.
Hanya saja, nenek moyang masyarakat Minang bermula dari sekelompok masyarakat yang pernah menganut kepercayaan animisme dan pernah memegang kepercayaan Hindu Budha. Akibatnya, ada sebagian tradisi yang masih dijalani, meskipun saat ini mereka telah menjadi seorang muslim.
Dalam balimau misalnya, masyarakat Minang menjalaninya dengan bermandi di tepian mandi, lalu menyirami tubuh dengan air khusus yang dicampurkan dengan bunga-bunga atau rempah-rempah yang dibuat dengan cakua, kambelu, dan lainnya.
Bagi masyarakat dahulu, air campuran khusus tersebut digunakan untuk membersihkan diri secara lahiriah. Berharap agar segala penyakit jauh dari tubuh mereka, sehingga ketika menjalani ibadah puasa, mereka dapat menjalani dengan khusyuk.
Sebenarnya itu hanya kebiasaan yang diciptakan dan ditradisikan oleh sebagian masyarakat Minang. Secara hakikat, balimau dilakukan untuk menyucikan diri dari segala perbuatan buruk, membersihkan diri dari penyakit hati, seperti sakit hati, iri, dengki, riba, tamak, dan lainnya--yang pada hakikatnya bertujuan untuk menjaga hati agar lebih siap menghadapi bulan suci ramadhan.
Kini, Balimau dengan air khusus ini tentunya menjadi perbuatan yang dilarang oleh majelis agama di Sumatera Barat.
Di balik tradisi ini, sesungguhnya ada sesuatu yang tengah dikembangkan oleh masyarakat Minang. Tradisi berkumpul. Ketika mereka sibuk dengan berbagai kegiatan di sawah, ladang, dan pasar raya, masyarakat pun membutuhkan waktu untuk bertemu dengan kerabat dan orang kampung.
Oleh karena pada masa itu belum ada handphone dan telpon, mereka pun yang dulunya memiliki jarak antar rumah yang sangat jauh, menyepakati untuk balimau ke tapian mandi. Dengan kesepakatan ini, akhirnya membuat mereka bisa bertemu di satu tempat. Pada kesempatan itulah, mereka mengamalkan ajaran agama Islam untuk meminta maaf dan saling memaafkan.
Sederhana, bukan? Bukan sebuah tradisi yang menjadi euforia seperti saat ini!
Lalu, apakah balimau ini masih dijalankan oleh masyarakat Minang?
Nyatanya memang masih ada. Jika sudah memasuki bulan ramadhan, hampir seluruh media cetak, media online, radio, bahkan juga televisi swasta di Indonesia menyiarkan tradisi balimau masyarakat Sumatera Barat. Seakan-akan, tradisi ini harus rutin diliput setiap tahun. Mereka menampilkan gambar dan video masyarakat Sumatera Barat yang mandi di sungai, beramai-ramai.
Namun, di balik itu, sesungguhnya balimau itu tidak penting. Bahkan, tidak boleh dilakukan. Sebab, masyarakat sudah beranggapan beda. Anak-anak muda jolong gadang, lebih banyak memanfaatkan kesempatan ini untuk melakukan kebiasaan yang buruk. Berdua-duaan misalnya. Sementara, bagi keluarga yang mengikuti tradisi ini, tidak sadar telah membiasakan keluarga mereka mandi di tempat terbuka.
Artinya, mereka bisa saling melihat aurat masing-masing. Padahal, dalam agama Islam, aurat amat dijaga dan harus ditutup. Oleh karena itulah, banyak alim ulama yang melarang tradisi balimau.
Lalu, mengenai tradisi saling memaafkan yang sudah dijalani oleh nenek moyang kita, tentunya bisa digantikan dengan mengirim sms, menelpon, atau bertamu langsung ke rumah tetangga dan kerabat.
3.BENDA/WUJUD FISIK
A.Rumah adatOrang Ocu : Rumah Lontiok (uma lontiok) adalah salah satu Rumah Adat Daerah Riau, Indonesia yang terdapat di Kabupaten Kampar. Rumah Lontiok yang dapat juga disebut Rumah Lancang, dan Rumah Pencalang karena rumah ini bentuk atapnya melengkung keatas, agak runcing. Sedangkan dindingnya miring keluar dengan hiasan kaki dinding mirip perahu atau lancang. Hal itu melambangkan penghormatan kepada Tuhan dan-sesama. Rumah Adat Lontiok biasanya mempunyai anak tangga rumah hitungan ganjil. Bentuk dinding Rumah yang miring keluar seperti miringnya dinding perahu layar mereka, dan jika dilihat dari jauh bentuk Rumah tersebut seperti Rumah-Rumah perahu (magon) yang biasa dibuat penduduk. Sedangkan nama Lontiok dipakai karena bentuk perabung (bubungan) atapnya melentik ke atas.
Rumah Lontiok merupakan Rumah panggung. Tipe konstruksi panggung dipilih untuk menghindari bahaya serangan binatang buas dan terjangan banjir. Di samping itu, ada kebiasaan masyarakat untuk menggunakan kolong rumah sebagai kandang ternak, wadah penyimpanan perahu, tempat bertukang, tempat anak-anak bermain, dan gudang kayu, sebagai persiapan menyambut bulan puasa. Selain itu, pembangunan Rumah berbentuk panggung sehingga untuk memasukinya harus menggunakan tangga yang mempunyai anak tangga berjumlah ganjil, lima, merupakan bentuk ekspresi keyakinan masyarakat.
Dinding luar Rumah Lontiok seluruhnya miring keluar, berbeda dengan dinding dalam yang tegak lurus. Balok tumpuan dinding luar depan melengkung ke atas, dan, terkadang, disambung dengan ukiran pada sudut-sudut dinding, maka terlihat seperti bentuk perahu. Balok tutup atas dinding juga melengkung meskipun tidak semelengkung balok tumpuan. Lengkungannya mengikuti lengkung sisi bawah bidang atap. Kedua ujung perabung diberi hiasan yang disebut sulo bayung. Sedangkan sayok lalangan merupakan ornamen pada keempat sudut cucuran atap. Bentuk hiasan beragam, ada yang menyerupai bulan sabit, tanduk kerbau, taji dan sebagainya.
Dasar dan dinding Rumah yang berbentuk seperti perahu merupakan ciri khas masyarakat Kampar, sedangkan bentuk atap lentik (Lontiok) merupakan ciri khas arsitektur Minangkabau. Proses akulturasi arsitektur terjadi karena daerah Kampar merupakan alur pelayaran, Sungai Mahat, dari Lima Koto menuju wilayah Tanah Datar di Payakumbuh, Minangkabau. Daerah Lima Koto mencakup Kampung Rumbio, Kampar, Air, Tiris, Bangkinang, Salo, dan Kuok. Oleh karena Kampar merupakan bagian dari alur mobilitas masyarakat, maka proses akulturasi merupakan hal yang sangat mungkin terjadi. Hasil dari proses akulturasi tersebut nampak dari keunikan Rumah Lancang yang sedikit banyak berbeda dengan arsitektur bangunan di daerah Riau Daratan dan Riau Kepulauan.
Rumah Gadang atau Rumah Godang adalah nama untuk rumah adat Minangkabau yang merupakan rumah tradisional dan banyak di jumpai di provinsi Sumatera Barat, Indonesia. Rumah ini juga disebut dengan nama lain oleh masyarakat setempat dengan nama Rumah Bagonjong atau ada juga yang menyebut dengan nama Rumah Baanjung..
Fungsi : Rumah Gadang sebagai tempat tinggal bersama, mempunyai ketentuan-ketentuan tersendiri. Jumlah kamar bergantung kepada jumlah perempuan yang tinggal di dalamnya. Setiap perempuan dalam kaum tersebut yang telah bersuami memperoleh sebuah kamar. Sementara perempuan tua dan anak-anak memperoleh tempat di kamar dekat dapur. Gadis remaja memperoleh kamar bersama di ujung yang lain.
Seluruh bagian dalam Rumah Gadang merupakan ruangan lepas kecuali kamar tidur. Bagian dalam terbagi atas lanjar dan ruang yang ditandai oleh tiang. Tiang itu berbanjar dari muka ke belakang dan dari kiri ke kanan. Tiang yang berbanjar dari depan ke belakang menandai lanjar, sedangkan tiang dari kiri ke kanan menandai ruang. Jumlah lanjar bergantung pada besar rumah, bisa dua, tiga dan empat. Ruangnya terdiri dari jumlah yang ganjil antara tiga dan sebelas.
Rumah Gadang biasanya dibangun diatas sebidang tanah milik keluarga induk dalam suku/kaum tersebut secara turun temurun dan hanya dimiliki dan diwarisi dari dan kepada perempuan pada kaum tersebut. Dihalaman depan Rumah Gadang biasanya selalu terdapat dua buah bangunan Rangkiang, digunakan untuk menyimpan padi. Rumah Gadang pada sayap bangunan sebelah kanan dan kirinya terdapat ruang anjung (Bahasa Minang: anjuang) sebagai tempat pengantin bersanding atau tempat penobatan kepala adat, karena itu rumah Gadang dinamakan pula sebagai rumah Baanjuang. Anjung pada kelarasan Bodi-Chaniago tidak memakai tongkat penyangga di bawahnya, sedangkan pada kelarasan Koto-Piliang memakai tongkat penyangga. Hal ini sesuai filosofi yang dianut kedua golongan ini yang berbeda, salah satu golongan menganut prinsip pemerintahan yang hirarki menggunakan anjung yang memakai tongkat penyangga, pada golongan lainnya anjuang seolah-olah mengapung di udara. Tidak jauh dari komplek Rumah Gadang tersebut biasanya juga dibangun sebuah surau kaum yang berfungsi sebagai tempat ibadah, tempat pendidikan dan juga sekaligus menjadi tempat tinggal lelaki dewasa kaum tersebut yang belum menikah.
Arsitektur : Rumah adat ini memiliki keunikan bentuk arsitektur dengan bentuk puncak atapnya runcing yang menyerupai tanduk kerbau dan dahulunya dibuat dari bahan ijuk yang dapat tahan sampai puluhan tahun namun belakangan atap rumah ini banyak berganti dengan atap seng.Rumah Gadang ini dibuat berbentuk empat persegi panjang dan dibagi atas dua bahagian muka dan belakang. Dari bagian dari depan Rumah Gadang biasanya penuh dengan ukiran ornamen dan umumnya bermotif akar, bunga, daun serta bidang persegi empat dan genjang[1]. Sedangkan bagian luar belakang dilapisi dengan belahan bambu. Rumah tradisional ini dibina dari tiang-tiang panjang, bangunan rumah dibuat besar ke atas, namun tidak mudah rebah oleh goncangan[1], dan setiap elemen dari Rumah Gadang mempunyai makna tersendiri yang dilatari oleh tambo yang ada dalam adat dan budaya masyarakat setempat.Pada umumnya Rumah Gadang mempunyai satu tangga yang terletak pada bagian depan. Sementara dapur dibangun terpisah pada bagian belakang rumah yang didempet pada dinding.
B.TARIAN
Bangsa Minang : Alat Musik Tradisional Minangkabau
Nuansa Minangkabau yang ada di dalam setiap musik Sumatra Barat yang dicampur dengan jenis musik apapun saat ini pasti akan terlihat dari setiap karya lagu yang beredar di masyarakat. Hal ini karena musik Minang bisa diracik dengan aliran musik jenis apapun sehingga enak didengar dan bisa diterima oleh masyarakat. Unsur musik pemberi nuansa terdiri dari instrumen alat musik tradisional antara lain :
1. Saluang
Saluang adalah alat musik tradisional khas Minangkabau,Sumatra Barat. Yang mana alat musik tiup ini terbuat dari bambu tipis atau talang (Schizostachyum brachycladum Kurz). Orang Minangkabau percaya bahwa bahan yang paling bagus untuk dibuat saluang berasal dari talang untuk jemuran kain atau talang yang ditemukan hanyut di sungai.
Alat ini termasuk dari golongan alat musik suling, tapi lebih sederhana pembuatannya, cukup dengan melubangi talang dengan empat lubang. Panjang saluang kira-kira 40-60 cm, dengan diameter 3-4 cm. Adapun kegunaan lain dari talang adalah wadah untuk membuat lemang, salah satu makanan tradisional Minangkabau.
Pemain saluang legendaris bernama Idris Sutan Sati dengan penyanyinya Syamsimar.
Keutamaan para pemain saluang ini adalah dapat memainkan saluang dengan meniup dan menarik nafas bersamaan, sehingga peniup saluang dapat memainkan alat musik itu dari awal dari akhir lagu tanpa putus. Cara pernafasan ini dikembangkan dengan latihan yang terus menerus. Teknik ini dinamakan juga sebagai teknik manyisiahkan angok (menyisihkan nafas).
Tiap nagari di Minangkabau mengembangkan cara meniup saluang, sehingga masing-masing nagari memiliki style tersendiri. Contoh dari style itu adalah Singgalang, Pariaman, Solok Salayo, Koto Tuo, Suayan dan Pauah. Style Singgalang dianggap cukup sulit dimainkan oleh pemula, dan biasanya nada Singgalang ini dimainkan pada awal lagu. Style yang paling sedih bunyinya adalah Ratok Solok dari daerah Solok.
Permainan musik Saluang ini biasanya diadakan dalam acara keramaian seperti keduri perkawinan, batagak rumah, batagak pangulu, dan lain-lain. Permainan ini, biasanya dilaksanakan setelah salat Isya dan berakhir menjelang subuh.
yang menarik dari kesenian ini, selain kecekataan dan kebolehan si peniup saluang, juga kata-kata yang didendangkan para dara-dara cantik Minang yang berisikan pesan, sindiran, dan juga kritikan halus yang mengembalikan ingatan si pendengar terhadap kampung halaman ataupun terhadap kehidupan yang sudah, sedang, dan akan dijalani. Umumnya, irama Saluang dan dendang yang mengiringinya terdengar sentimental (berhiba-hiba), tetapi adakalanya juga membuat penonton tertawa kegelian karena dendangnya yang lucu/bersifat menyindir penonton. Perhatikanlah salah satu lagu dendang Saluang berikut ini.
KACANG DIABUIH CIEK (kacang direbus satu)—pepatah Minang yang artinya: sifat seseorang yang mudah bertukar hati kepada tiap-tiap orang yang lebih menarik atau lebih kaya (tidak setia)/mudah berganti-ganti pasangan
Daulu memang denai tagilo-gilo
Kini jan disangko denai ka tadayo
sabab denai lah tau tingkah nan jo lakunyo
iyo bak cando samuik jolong mandapek gulo
cukuik sakali ka ganti pangajaran
jan sampai pisang buahnyo duo kali
daripado manyasa denai ko kamudian
labiah elok mailak pado den makan hati
bosan den lah bosan
den indak ka acuah lai
kini bia diam pado den maracun hati
sabab salamo ko lah pasai denai maliek
parangainyo bak cando kacang diabuih ciek
Dahulu, khabarnya pemain saluang ini memiliki mantera tersendiri yang berguna untuk menghipnotis penontonnya. Mantera itu dinamakan Pitunang Nabi Daud. Isi dari mantera itu kira-kira : Aku malapehkan pitunang Nabi Daud, buruang tabang tatagun-tagun, aia mailia tahanti-hanti, takajuik bidodari di dalam sarugo mandanga buni saluang ambo, kununlah anak sidang manusia……dst.
2. Bansi
Bansi Bentuknya Pendek dan memiliki 7 lubang dan dapat memainkan lagu-lagu tradisional maupun modern karena memiliki nada standar. Dibandingkan dengan alat musik tiup lainnya, yang ditemukan di daerah Sumatera Barat, Bansi memiliki nada yang lebih lengkap. Hal ini dapat terjadi karena Bansi mempunyai jumlah lobang nada yang lebih banyak, yaitu 7 buah. Dengan demikian, Bansi dapat menyanyikan lagu-lagu baik yang bersifat tradisional maupun modern. Dilihat dari segi bentuknya, Bansi berukuran lebih pendek daripada Saluang. Panjangnya lebih kurang 33,5 – 36 cm dengan garis tengah antara 2,5—3 cm. Bansi juga terbuat dari talang (bambu tipis) atau sariak (sejenis bambu kecil yang tipis).
Keunikan Saluang dan Bansi :
a. Keunikan Saluang
1. Makin pendek Saluang makin tinggi bunyinya.
2. Makin panjang Saluang makin rendah bunyinya.
3. Saluang dapat dibunyikan dengan indah karena kearifan pemainnya dalam mengatur nada.
4. Kadang-kadang bunyi saluang berlawanan dengan nada suara penyanyinya; terkadang sesuai dengan nada suara penyanyinya.
5. Jumlah lobang pada Saluang tidak sesuai dengan aturan tangga nada.
6. Dalam meniup saluang tidaklah terputus-putus karena keahlian peniup mengatur pernafasannya.
a. Keunikan Bansi
1 Bansi dapat dibunyikan dengan indah karena kearifan pemainnya dalam mengatur nada.
2. Bansi terkadang dibunyikan berlawanan denan nada suara penyanyinya, terkadang sesuai dengan nada suara penyanyinya.
3. Bansi dapat mengiringi berbagai jenis lagu, baik tradisional maupun modern karena mempunyai lobang nada yang lebih banyak.
Selain keunikan-keunikan itu, Saluang dan Bansi juga mempunyai perbedaan, terutama dari segi (1) panjang/ukuran, (2) banyak lobang, (3) cara memainkannya, dan (4) bunyi yang dihasilkannya.
Sebagai generasi muda, kita selayaknya mengenal dan menyukai musik tradisional. Apabila generasi muda tidak lagi menyukai musik tradisional, maka musik itu akan hilang bersamaan dengan hilangnya orang tua-tua yang sekarang masih menyukainya.
1. Saluang
Saluang adalah alat musik tradisional khas Minangkabau,Sumatra Barat. Yang mana alat musik tiup ini terbuat dari bambu tipis atau talang (Schizostachyum brachycladum Kurz). Orang Minangkabau percaya bahwa bahan yang paling bagus untuk dibuat saluang berasal dari talang untuk jemuran kain atau talang yang ditemukan hanyut di sungai.
Alat ini termasuk dari golongan alat musik suling, tapi lebih sederhana pembuatannya, cukup dengan melubangi talang dengan empat lubang. Panjang saluang kira-kira 40-60 cm, dengan diameter 3-4 cm. Adapun kegunaan lain dari talang adalah wadah untuk membuat lemang, salah satu makanan tradisional Minangkabau.
Pemain saluang legendaris bernama Idris Sutan Sati dengan penyanyinya Syamsimar.
Keutamaan para pemain saluang ini adalah dapat memainkan saluang dengan meniup dan menarik nafas bersamaan, sehingga peniup saluang dapat memainkan alat musik itu dari awal dari akhir lagu tanpa putus. Cara pernafasan ini dikembangkan dengan latihan yang terus menerus. Teknik ini dinamakan juga sebagai teknik manyisiahkan angok (menyisihkan nafas).
Tiap nagari di Minangkabau mengembangkan cara meniup saluang, sehingga masing-masing nagari memiliki style tersendiri. Contoh dari style itu adalah Singgalang, Pariaman, Solok Salayo, Koto Tuo, Suayan dan Pauah. Style Singgalang dianggap cukup sulit dimainkan oleh pemula, dan biasanya nada Singgalang ini dimainkan pada awal lagu. Style yang paling sedih bunyinya adalah Ratok Solok dari daerah Solok.
Permainan musik Saluang ini biasanya diadakan dalam acara keramaian seperti keduri perkawinan, batagak rumah, batagak pangulu, dan lain-lain. Permainan ini, biasanya dilaksanakan setelah salat Isya dan berakhir menjelang subuh.
yang menarik dari kesenian ini, selain kecekataan dan kebolehan si peniup saluang, juga kata-kata yang didendangkan para dara-dara cantik Minang yang berisikan pesan, sindiran, dan juga kritikan halus yang mengembalikan ingatan si pendengar terhadap kampung halaman ataupun terhadap kehidupan yang sudah, sedang, dan akan dijalani. Umumnya, irama Saluang dan dendang yang mengiringinya terdengar sentimental (berhiba-hiba), tetapi adakalanya juga membuat penonton tertawa kegelian karena dendangnya yang lucu/bersifat menyindir penonton. Perhatikanlah salah satu lagu dendang Saluang berikut ini.
KACANG DIABUIH CIEK (kacang direbus satu)—pepatah Minang yang artinya: sifat seseorang yang mudah bertukar hati kepada tiap-tiap orang yang lebih menarik atau lebih kaya (tidak setia)/mudah berganti-ganti pasangan
Daulu memang denai tagilo-gilo
Kini jan disangko denai ka tadayo
sabab denai lah tau tingkah nan jo lakunyo
iyo bak cando samuik jolong mandapek gulo
cukuik sakali ka ganti pangajaran
jan sampai pisang buahnyo duo kali
daripado manyasa denai ko kamudian
labiah elok mailak pado den makan hati
bosan den lah bosan
den indak ka acuah lai
kini bia diam pado den maracun hati
sabab salamo ko lah pasai denai maliek
parangainyo bak cando kacang diabuih ciek
Dahulu, khabarnya pemain saluang ini memiliki mantera tersendiri yang berguna untuk menghipnotis penontonnya. Mantera itu dinamakan Pitunang Nabi Daud. Isi dari mantera itu kira-kira : Aku malapehkan pitunang Nabi Daud, buruang tabang tatagun-tagun, aia mailia tahanti-hanti, takajuik bidodari di dalam sarugo mandanga buni saluang ambo, kununlah anak sidang manusia……dst.
2. Bansi
Bansi Bentuknya Pendek dan memiliki 7 lubang dan dapat memainkan lagu-lagu tradisional maupun modern karena memiliki nada standar. Dibandingkan dengan alat musik tiup lainnya, yang ditemukan di daerah Sumatera Barat, Bansi memiliki nada yang lebih lengkap. Hal ini dapat terjadi karena Bansi mempunyai jumlah lobang nada yang lebih banyak, yaitu 7 buah. Dengan demikian, Bansi dapat menyanyikan lagu-lagu baik yang bersifat tradisional maupun modern. Dilihat dari segi bentuknya, Bansi berukuran lebih pendek daripada Saluang. Panjangnya lebih kurang 33,5 – 36 cm dengan garis tengah antara 2,5—3 cm. Bansi juga terbuat dari talang (bambu tipis) atau sariak (sejenis bambu kecil yang tipis).
Keunikan Saluang dan Bansi :
a. Keunikan Saluang
1. Makin pendek Saluang makin tinggi bunyinya.
2. Makin panjang Saluang makin rendah bunyinya.
3. Saluang dapat dibunyikan dengan indah karena kearifan pemainnya dalam mengatur nada.
4. Kadang-kadang bunyi saluang berlawanan dengan nada suara penyanyinya; terkadang sesuai dengan nada suara penyanyinya.
5. Jumlah lobang pada Saluang tidak sesuai dengan aturan tangga nada.
6. Dalam meniup saluang tidaklah terputus-putus karena keahlian peniup mengatur pernafasannya.
a. Keunikan Bansi
1 Bansi dapat dibunyikan dengan indah karena kearifan pemainnya dalam mengatur nada.
2. Bansi terkadang dibunyikan berlawanan denan nada suara penyanyinya, terkadang sesuai dengan nada suara penyanyinya.
3. Bansi dapat mengiringi berbagai jenis lagu, baik tradisional maupun modern karena mempunyai lobang nada yang lebih banyak.
Selain keunikan-keunikan itu, Saluang dan Bansi juga mempunyai perbedaan, terutama dari segi (1) panjang/ukuran, (2) banyak lobang, (3) cara memainkannya, dan (4) bunyi yang dihasilkannya.
Sebagai generasi muda, kita selayaknya mengenal dan menyukai musik tradisional. Apabila generasi muda tidak lagi menyukai musik tradisional, maka musik itu akan hilang bersamaan dengan hilangnya orang tua-tua yang sekarang masih menyukainya.
3. Pupuik Batang Padi
Pupuik batang padi terbuat dari batang padi. Pada bagian dekat buku dibuat lidah. Lidah itu, jika ditiu akan menghasilkan celah, sehingga menimbulkan bunyi. Pada bagian ujungnya dililit dengan daun kelapa yang menyerupai terompet. Bunyinya melengking dan nada dihasilkan melalui permainan jari pada lilitan daun kelapa,
4. Sarunai
Sarunai terbuat dari dua potong bambu yang tidak sama besarnya. Sepotong yang kecil dapat masuk ke potongan yang lebih besar. Fungsinya sebagai penghasil nada. Alat ini memiliki empat lubang nada. Bunyinya juga melodius. Karawitan ini sudah jarang yang menggunakan. Selain juga sulit membuatnya, nada yang dihasilkan juga tidak banyak terpakai.,
5. Pupuik Tanduak
Terbuat dari tanduk kerbau yang dibersihkan. Bagian ujungnya dipotong rata dan berfungsi sebagai tempat meniup. Bentuknya mengkilat dan hitam bersih. Fungsinya lebih pada alat komunikasi. Tidak berfungsi sebagai alat pengiring nyanyi atau tari. Dahulu digunakan untuk aba-aba pada masyarakat misalnya pemberitahuan saat subuh dan magrib atau ada pengumuman dari pemuka kampung.
6. Talempong
Talempong adalah sebuah alat musik khas Minangkabau. Bentuknya hampir sama dengan gamelan dari Jawa. Talempong dapat terbuat dari kuningan, namun ada pula yang terbuat dari kayu dan batu, saat ini talempong dari jenis kuningan lebih banyak digunakan. Talempong ini berbentuk bundar pada bagian bawahnya berlobang sedangkan pada bagian atasnya terdapat bundaran yang menonjol berdiameter lima sentimeter sebagai tempat tangga nada (berbeda-beda). Bunyi dihasilkan dari sepasang kayu yang dipukulkan pada permukaannya.
Talempong biasanya digunakan untuk mengiringi tari piring yang khas, tari pasambahan, tari gelombang,dll. Talempong juga digunakan untuk menyambut tamu istimewa. Talempong ini memainkanya butuh kejelian dimulai dengantangga pranada DO dan diakhiri dengan SI. Talempong diiringi oleh akor yang cara memainkanya sama dengan memainkan piano
7. Rabab
Rabab merupakan kesenian di Minangkabau yang dimainkan dengan menggesek biola.
Dengan rabab ini dapat tersalurkan bakat musik seseorang.
Biasanya dalam rabab ini dikisahkan berbagai cerita nagari atau dikenal dengan istilah Kaba.
8. Gandang Tabuik.
Tabuik berbentuk bangunan bertingkat tiga terbuat dari kayu, rotan, dan bambu dengan tinggi mencapai 10 meter dan berat sekitar 500 kilogram. Bagian bawah Tabuik berbentuk badan seekor kuda besar bersayap lebar dan berkepala “wanita” cantik berjilbab. Kuda gemuk itu dibuat dari rotan dan bambu dengan dilapisi kain beludru halus warna hitam dan pada empat kakinya terdapat gambar kalajengking menghadap ke atas.
Kuda tersebut merupakan simbol kendaraan Bouraq yang dalam cerita zaman dulu adalah kendaraan yang memiliki kemampuan terbang secepat kilat. Pada bagian tengah Tabuik berbentuk gapura petak yang ukurannya makin ke atas makin besar dengan dibalut kain beludru dan kertas hias aneka warna yang ditempelkan dengan motif ukiran khas Minangkabau.
Di bagian bawah dan atas gapura ditancapkan “bungo salapan” (delapan bunga) berbentuk payung dengan dasar kertas warna bermotif ukiran atau batik. Pada bagian puncak Tabuik berbentuk payung besar dibalut kain beludru dan kertas hias yang juga bermotif ukiran.
Di atas payung ditancapkan patung burung merpati putih. Di kaki Tabuik terdapat empat kayu balok bersilang dengan panjang masing-masing balok sekitar 10 meter. Balok-balok itu digunakan untuk menggotong dan “menghoyak” Tabuik yang dilakukan sekitar 50 orang dewasa.
Tabuik dibuat oleh dua kelompok masyarakat Pariaman, yakni kelompok Pasar dan kelompok Subarang. Tabuik dibuat di rumah Tabuik secara bersama-sama dengan melibatkan para ahli budaya dengan biaya mencapai puluhan juta rupiah untuk satu Tabuik.
Musik Minangkabau berupa instrumentalia dan lagu-lagu dari daerah ini pada umumnya bersifat melankolis. Hal ini berkaitan erat dengan struktur masyarakatnya yang memiliki rasa persaudaraan, hubungan kekeluargaan dan kecintaan akan kampung halaman yang tinggi ditunjang dengan kebiasaan pergi/merantau.
Industri musik di Sumatra Barat semakin berkembang dengan munculnya seniman-seniman Minang yang bisa membaurkan musik modern ke dalam musik tradisional Minangkabau. Perkembangan musik Minang modern di Sumatra Barat sudah dimulai sejak tahun 1950-an ditandai dengan lahirnya Orkes Gumarang.
Alat musik pukul lainnya yang juga sering digunakan untuk pelengkap talempong, juga dapat dimanfaatkan secara tungal. Misalnya untuk arak-arakan pada acara Tabut, Khatam Quran dan arak-arakan lainnya. diantaranya : Canang, Gong, Tambur, Rabano, Indang dan Ado.
Pupuik batang padi terbuat dari batang padi. Pada bagian dekat buku dibuat lidah. Lidah itu, jika ditiu akan menghasilkan celah, sehingga menimbulkan bunyi. Pada bagian ujungnya dililit dengan daun kelapa yang menyerupai terompet. Bunyinya melengking dan nada dihasilkan melalui permainan jari pada lilitan daun kelapa,
4. Sarunai
Sarunai terbuat dari dua potong bambu yang tidak sama besarnya. Sepotong yang kecil dapat masuk ke potongan yang lebih besar. Fungsinya sebagai penghasil nada. Alat ini memiliki empat lubang nada. Bunyinya juga melodius. Karawitan ini sudah jarang yang menggunakan. Selain juga sulit membuatnya, nada yang dihasilkan juga tidak banyak terpakai.,
5. Pupuik Tanduak
Terbuat dari tanduk kerbau yang dibersihkan. Bagian ujungnya dipotong rata dan berfungsi sebagai tempat meniup. Bentuknya mengkilat dan hitam bersih. Fungsinya lebih pada alat komunikasi. Tidak berfungsi sebagai alat pengiring nyanyi atau tari. Dahulu digunakan untuk aba-aba pada masyarakat misalnya pemberitahuan saat subuh dan magrib atau ada pengumuman dari pemuka kampung.
6. Talempong
Talempong adalah sebuah alat musik khas Minangkabau. Bentuknya hampir sama dengan gamelan dari Jawa. Talempong dapat terbuat dari kuningan, namun ada pula yang terbuat dari kayu dan batu, saat ini talempong dari jenis kuningan lebih banyak digunakan. Talempong ini berbentuk bundar pada bagian bawahnya berlobang sedangkan pada bagian atasnya terdapat bundaran yang menonjol berdiameter lima sentimeter sebagai tempat tangga nada (berbeda-beda). Bunyi dihasilkan dari sepasang kayu yang dipukulkan pada permukaannya.
Talempong biasanya digunakan untuk mengiringi tari piring yang khas, tari pasambahan, tari gelombang,dll. Talempong juga digunakan untuk menyambut tamu istimewa. Talempong ini memainkanya butuh kejelian dimulai dengantangga pranada DO dan diakhiri dengan SI. Talempong diiringi oleh akor yang cara memainkanya sama dengan memainkan piano
7. Rabab
Rabab merupakan kesenian di Minangkabau yang dimainkan dengan menggesek biola.
Dengan rabab ini dapat tersalurkan bakat musik seseorang.
Biasanya dalam rabab ini dikisahkan berbagai cerita nagari atau dikenal dengan istilah Kaba.
8. Gandang Tabuik.
Tabuik berbentuk bangunan bertingkat tiga terbuat dari kayu, rotan, dan bambu dengan tinggi mencapai 10 meter dan berat sekitar 500 kilogram. Bagian bawah Tabuik berbentuk badan seekor kuda besar bersayap lebar dan berkepala “wanita” cantik berjilbab. Kuda gemuk itu dibuat dari rotan dan bambu dengan dilapisi kain beludru halus warna hitam dan pada empat kakinya terdapat gambar kalajengking menghadap ke atas.
Kuda tersebut merupakan simbol kendaraan Bouraq yang dalam cerita zaman dulu adalah kendaraan yang memiliki kemampuan terbang secepat kilat. Pada bagian tengah Tabuik berbentuk gapura petak yang ukurannya makin ke atas makin besar dengan dibalut kain beludru dan kertas hias aneka warna yang ditempelkan dengan motif ukiran khas Minangkabau.
Di bagian bawah dan atas gapura ditancapkan “bungo salapan” (delapan bunga) berbentuk payung dengan dasar kertas warna bermotif ukiran atau batik. Pada bagian puncak Tabuik berbentuk payung besar dibalut kain beludru dan kertas hias yang juga bermotif ukiran.
Di atas payung ditancapkan patung burung merpati putih. Di kaki Tabuik terdapat empat kayu balok bersilang dengan panjang masing-masing balok sekitar 10 meter. Balok-balok itu digunakan untuk menggotong dan “menghoyak” Tabuik yang dilakukan sekitar 50 orang dewasa.
Tabuik dibuat oleh dua kelompok masyarakat Pariaman, yakni kelompok Pasar dan kelompok Subarang. Tabuik dibuat di rumah Tabuik secara bersama-sama dengan melibatkan para ahli budaya dengan biaya mencapai puluhan juta rupiah untuk satu Tabuik.
Musik Minangkabau berupa instrumentalia dan lagu-lagu dari daerah ini pada umumnya bersifat melankolis. Hal ini berkaitan erat dengan struktur masyarakatnya yang memiliki rasa persaudaraan, hubungan kekeluargaan dan kecintaan akan kampung halaman yang tinggi ditunjang dengan kebiasaan pergi/merantau.
Industri musik di Sumatra Barat semakin berkembang dengan munculnya seniman-seniman Minang yang bisa membaurkan musik modern ke dalam musik tradisional Minangkabau. Perkembangan musik Minang modern di Sumatra Barat sudah dimulai sejak tahun 1950-an ditandai dengan lahirnya Orkes Gumarang.
Alat musik pukul lainnya yang juga sering digunakan untuk pelengkap talempong, juga dapat dimanfaatkan secara tungal. Misalnya untuk arak-arakan pada acara Tabut, Khatam Quran dan arak-arakan lainnya. diantaranya : Canang, Gong, Tambur, Rabano, Indang dan Ado.
Bangsa Ocu : Alat Musik Tradisional Ocu - Musik merupakan salah satu hiburan bagi manusia. Dengan musik perasaan menjadi tenang dan damai. Sejak zaman dahulu musik sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia. Tidak terkecuali di tanah Ocu Riau. Tanah Ocu adalah salah satu daerah yang memiliki musik yang unik.
Alat musik melayu dapat digolongkan menjadi empat jenis yaitu:
- Aerofons adalah alat musik tiup.
- Cordofons adalah instrumen musik yang memiliki senar yang dimainkan dengan cara dipetik.
- Idiofons adalah instrumen musik perkusi yang dimainkan dengan cara dipukul.
- Membranofons, alat musik yang terbuat dari kulit atau membran yang membentang di atas instrumen untuk menghasilkan suara yang bila dipukul.
Alat musik melayu dapat digolongkan menjadi empat jenis yaitu:
- Aerofons adalah alat musik tiup.
- Cordofons adalah instrumen musik yang memiliki senar yang dimainkan dengan cara dipetik.
- Idiofons adalah instrumen musik perkusi yang dimainkan dengan cara dipukul.
- Membranofons, alat musik yang terbuat dari kulit atau membran yang membentang di atas instrumen untuk menghasilkan suara yang bila dipukul.
Pada budaya Ocu, alat musik digunakan untuk mengiringi tarian atau lagu-lagu tradisional Ocu. Berikut beberapa alat musik tradisional Ocu Riau:
1. Rebana Ubi
Alat musik ini sangat terkenal sejak zaman kerajaan Melayu Kuno. Rebana ubi sering digunakan saat upacara pernikahan.Selain itu Rebana ubi juga digunakan sebagai alat komunikasi sederhana pada zaman itu karena bunyinya yang cukup keras. Jumlah pukulan pada rebana ubi memiliki makna tersendiri yang telah dipahami oleh masyarakt saat itu.
2. Kompang
Kompang merupakan alat musik Ocu yang paling populer saat ini, kompang banyak digunakan dalam berbagai acara-acara sosial seperti pawai hari kemerdekaan. Selain itu alat musik ini juga digunakan untuk mengiringi lagu gambus. Kompang memiliki kemiripan dengan rebana tetapi tanpa cakram logam gemerincing di sekelilingnya.
3. Sape
Sape adalah seruling tradisional masyarakat Ocu. Alat musik dibuat dengan bambu panjang yang dilubangi sehingga menghasilkan nada yang indah. Alat musik ini dapat dimainkan dengan cara ditiup. Sape digunakan untuk melengkapi musik tarian tradisional Ocu. Selain itu, sape juga digunakan sebagai pelengkap musik pengiring dari lagu tradisional Ocu. Sampai saat ini alat musik ini masih sering digunakan. Salah satunya adalah untuk mengirinya musik dangdut (perkembangan dari musik Melayu)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar