Manusia sangat menyukai kesenangan dunia, baik berupa kesehatan,
harta, keturunan, ataupun kedudukan. Mereka sangat membanggakannya dan
menjadikannya sebagai parameter kesuksesan hidup. Oleh sebab itu mereka
sangat bersedih dan bahkan berputus asa tatkala kesenangan itu lenyap
darinya. Mereka tidak bisa menjadi sosok hamba yang bersabar ketika
mendapatkan musibah yang ditakdirkan-Nya.
Sebaliknya, tatkala berhasil mendapatkan kembali nikmat dunia yang
sebelumnya luput darinya, mereka merasa seolah-olah dirinyalah orang
yang paling berhak menikmatinya. Mereka juga meremehkan dan melecehkan
orang lain yang ada di sekitarnya karena tidak memiliki ‘kemuliaan’
seperti yang didapatkannya. Mereka pun ternyata tidak bisa menjadi
sosok hamba yang pandai bersyukur kepada Rabbnya atas nikmat yang telah
dilimpahkan oleh-Nya.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan jika Kami
berikan rahmat Kami kepada manusia, kemudian (rahmat itu) Kami cabut
kembali, pastilah dia menjadi putus asa dan tidak berterima kasih. Dan
jika Kami berikan kebahagiaan kepadanya setelah ditimpa bencana yang
menimpanya, niscaya dia akan berkata; ‘Telah hilang bencana itu dariku.’
Sesungguhnya dia (merasa) sangat gembira dan bangga, kecuali
orang-orang yang sabar, dan mengerjakan kebajikan, mereka memperoleh
ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Hud: 9-11).
Di dalam ayat yang mulia ini, Allah menceritakan tentang tabiat buruk
manusia yang bodoh lagi suka melakukan kezaliman. Tatkala Allah
menganugerahkan kepadanya sebagian dari rahmat-Nya berupa kesehatan,
rezeki yang melimpah atau anak-anak yang menyenangkan hati dan
semacamnya lalu Allah pun mencabut hal itu darinya, dia bersikap putus
asa dan berpangku tangan saja, dia tidak mengharapkan pahala dari Allah
(atas musibahnya). Tidak pernah terbersit dalam pikirannya bahwa kelak
Allah akan mengembalikan sesuatu yang hilang itu kepada dirinya,
menggantikannya dengan yang serupa atau bahkan sesuatu yang lebih baik
darinya.
Demikian pula, apabila Allah melimpahkan kepadanya rahmat/kemudahan
setelah dirundung kesulitan maka diapun terlalu gembira dan berbangga
diri. Dia mengira bahwa keadaan itu akan terus-menerus dialaminya,
sampai-sampai dia berkata, “Semua bencana telah luput dariku.”
Ini menunjukkan dirinya terlalu gembira dan berbangga-bangga. Dia merasa
senang dengan suatu karunia/nikmat yang cocok dengan hawa nafsunya.
Dia merasa angkuh dengan kenikmatan yang diberikan Allah kepada
hamba-hamba-Nya. Itulah yang membuatnya semakin congkak, sombong, ujub
akan diri sendiri dan angkuh kepada orang lain, suka merendahkan dan
melecehkan mereka. Aib manakah yang lebih parah daripada sifat semacam
ini?
Inilah karakter yang melekat pada jiwa manusia kecuali orang-orang
yang diberi taufik oleh Allah untuk bersabar ketika mendapatkan musibah
-sehingga tidak berputus asa- dan bersyukur ketika mendapatkan nikmat
-sehingga dia tidak bersikap angkuh- dan dia pun mengerjakan amal-amal
salih yang wajib maupun yang sunnah. Mereka itulah orang-orang yang akan
mendapatkan ampunan atas dosa-dosanya dan mendapatkan balasan pahala
yang sangat besar berupa surga beserta segala macam kenikmatan yang
diinginkan jiwa manusia (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 396. cet. Dar al-Hadits)
Contoh sosok manusia yang larut dengan ‘keberhasilan’nya dan angkuh
dengan kenikmatan yang diberikan Allah kepadanya adalah Qarun. Dia
berkata dengan nada sombong dan angkuh, sebagaimana diceritakan dalam
ayat (yang artinya), “Dia (Qarun) berkata, ‘Sesungguhnya aku diberi (harta itu), semata-mata karena ilmu yang ada padaku.’…” (QS. al-Qashash: 78).
Dia mengira bahwa dirinya memang orang yang berhak dan paling pantas
untuk mendapatkan itu semua. Sehingga dia pun menolak mentah-mentah
nasehat dari kaumnya untuk tidak dihanyutkan oleh kesenangan dunia
sehingga melupakan urusan akherat. Dalam pandangannya, kekayaan materi
itulah bukti pemuliaan dan kecintaan Allah kepada dirinya. Allah tidak
tinggal diam terhadap hal ini. Allah membantah persangkaan Qarun ini
dengan firman-Nya (yang artinya), “Tidakkah dia (Qarun) tahu, bahwa
Allah telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat
daripadanya dan lebih banyak mengumpulkan harta…” (QS. al-Qashash: 78). (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 684. cet. Dar al-Hadits)
Berbeda halnya dengan sosok yang mengerti akan dirinya dan memahami
keagungan Rabbnya. Maka dia akan mengakui bahwa nikmat yang dia peroleh
adalah ujian dari Rabbnya. Sehingga dia pun merasa khawatir kalau-kalau
tidak bisa menunaikan syukur kepada-Nya dengan sebaik-baiknya. Inilah
keletadanan yang dicontohkan oleh Nabi Sulaiman ‘alaihis salam, sebagaimana disebutkan dalam ayat (yang artinya), “Maka
ketika dia (Sulaiman) melihat Singgasana (Ratu Balqis) itu terletak di
hadapannya, dia pun berkata; ‘Ini termasuk karunia Tuhanku untuk
mengujiku, apakah aku bersyukur atau mengingkari (nikmat-Nya).
Barangsiapa bersyukur, maka sesungguhnya dia besyukur untuk (kebaikan)
dirinya sendiri. Barangsiapa ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Mahakaya
Mahamulia.’.” (QS. an-Naml: 40). (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 662. cet. Dar al-Hadits)
Sekarang, marilah kita bertanya kepada diri kita sendiri; apakah kita termasuk pengikut keteladanan Sulaiman ‘alaihis salam ataukah pengekor kesesatan Qarun dan orang-orang yang sejalan dengannya. Wallahul muwaffiq. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar